Rapat “Malabot Tumbe” Ricuh
BANGGAI LAUT – Kericuhan mewarnai rapat persiapan event adat “Malabot Tumbe” yang diselenggarakan, Jum;at kemarin.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Banggai Laut sebagai penyelenggara pertemuan tak bisa berbuat banyak saat salah satu undangan mengamuk.
Rapat yang sedianya akan membicarakan berbagai hal teknis terkait event adat tahunan penjemputan telur Maleo akhirnya buyar.
Banyak orang menyayangkan hal itu. Pasalnya selain penting, rapat tersebut berlangsung di dalam istana keraton Banggai.
“Keraton ini simbol adat dan peserta yang hadir juga banyak para tetua warga yang mestinya dihormati. Kita mengaku orang adat tapi tidak punya tata-krama,” sesal warga.
Info yang beredar menyebutkan, pertemuan berubah ricuh setelah salah seorang peserta bernama Syarifuddin Apok tidak terima pengaturan Disparbud mengenai siapa yang akan mengelola anggaran Malabot Tumbe khususnya pada kepanitiaan acara di lingkungan keraton.
“Pak Pudin memaksakan anggaran harus mereka yang pegang, Dispar cukup terima laporan. Sementara Dispar jelas keberatan karena khawatir pertanggungjawabannya nanti akan kalangkabut,” terang sumber.
Pudin (sapaan Syarifuddin) yang tak mampu menahan emosi karena usulannya ditolak lantas menggebrak yang mengakibatkan berbagai penganan kue-kue konsumsi rapat berhamburan.
Rapat ‘deadlock’. Undangan yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, para Basalo dan jajaran penting bangsawan Banggai memilih meninggalkan pertemuan.
Untuk diketahui, acara Malabot Tumbe adalah serangkaian ritual adat berupa penghantaran telur Maleo dari masyarakat adat Batui di kabupaten Banggai kepada pemangku Batomundoan (keturunan kerajaan} dan masyarakat adat Banggai di Banggai Laut.
Maleo sendiri adalah sejenis burung endemik Sulawesi Tengah yang habitat terbesarnya ada di seputaran wilayah kecamatan Batui, kabupaten Banggai.
Konon, awal mula keberadaan burung tersebut adalah titipan dari Raja Banggai tempo doeloe yang mengamanatkan ke pemangku adat Batui untuk mengantarkan hasil produksi (panen awal) setahun sekali setiap musim bertelur.
Ritual ini telah berlangsung ratusan tahun dan tetap terpelihara di kalangan masyarakat adat Banggai di dua Kabupaten ini (Banggai dan Banggai Laut) yang kemudian diadopsi pemerintah Kabupaten menjadi salah satu event pariwisata unggulan.
Hingga saat ini belum diperoleh penjelasan lengkap dari para pihak yang bertikai namun beberapa sumber mengkhawatirkan kejadian itu bakal memengaruhi nilai kesakralan ritual yang akan digelar dari tanggal 1 sampai 4 Desember nanti. (Sbt)