Hukum dan Kriminal

Murka Dituding Mafia Tanah Lurah Bohuntula Bakal Perkarakan Penyebar Isu

Morut – Lurah Bohuntula, Budi Tangko marah besar dan membantah keras tudingan yang menyebut dirinya sebagai mafia tanah.

Ia menyatakan, pihaknya bakal memperkarakan tudingan tersebut sebagai kasus pencemaran nama baik.

“Dalam waktu dekat saya akan menempuh jalur hukum demi nama baik saya dan keluarga,” tegasnya saat wawancara bersama awak Mediakeraton.com, Selasa (28/11) kemarin. 

Menurut Budi, isu tersebut berawal dari pembebasan lahan area pertambangan PT. Afit Lintas Jaya (PT. ALJ), kelurahan Bahontula, kecamatan Petasia, Morowali Utara.

Baca Juga : Kepala UPP Kelas lll Kolonodale Berganti

Sebagai Lurah, ia mengaku hanya mengurus apa yang menjadi kewenangannya yakni sebatas menerbitkan legalitas kepemilikan lahan perkebunan masyarakat seluas 29 hektar yang mereka kuasai sejak tahun 1970

“Beberapa orang menuduh saya menjual tanah dalam kawasan Hutan Lindung seluas 100 hektar kepada perusahaan tambang PT. ALJ,” ujarnya kesal.

Padahal lanjut dia, lahan perkebunan masyarakat yang dibebaskan perusahaan masih termasuk kawasan Area Penggunaan Lain (APL) dan luasannya hanya sebesar 29 hektar.

“Jadi tidak benar kalau mereka bilang masuk kawasan Hutan Lindung,” tegasnya.

Kepada media ini, Budi Tangko mengurai duduk persoalan,

Menurutnya, sebelum pembebasan lahan 29 hektar tersebut, sudah terjadi pembebasan serupa dalam area APL.

Baca Juga : Pileg 2024, Akankah konstelasi Partai DPRD Balut Berubah..!?

Pembebasan dilakukan secara bertahap mulai dari tahap satu sampai dengan tahap empat yang dimotori Joni Mursalim.

Oleh pemilik lahan, Joni Mursalim mendapat kuasa penuh soal pembebasan lahan tahap satu dan empat.

Berbekal kepercayaan itu, pria yang sering disapa Om Ampuh Luli itu lantas menawarkannya ke perusahaan dengan kesepakatan harga senilai 50 ribu per meter.

Celakanya kata Budi, saat membayar ke pemilik Lahan, om Ampuh Luli hanya menetapkan harga antara 20 sampai 30 ribu Rupiah per meter bahkan masih memotong 20 persen lagi per orang.

“Dia bisa bikin begitu soalnya pada proses pencairan pembebasan tahap satu dan empat masuk ke rekening Joni Mursalim dulu baru dia serahkan ke pemilik lahan,” terang Budi.

Kembali ke perkebunan masyarakat seluas 29 hektar yang jadi persoalannya, Lurah Budi Tangko menjelaskan bahwa perusahaan hanya menyepakati harga pembebasan lahan sebesar 25 ribu Rupiah per meter.

“Itu karena lokasinya tidak masuk dalam pusat aktifitas pertambangan dan saya tegaskan, saya hanya sebatas membuat legalitas sesuai permohonan pemilik lahan,” ucapnya.

Begitupun saat pencairan keuangan, Budi mengaku tidak terlibat karena pembayaran dilakukan secara langsung antara pemilik lahan dan pihak perusahaan melalui Bank setempat.

Wawancara panjang tersebut, Budi Lando sempat mengurai pula perselisihan dengan warga lain bernama Melkias.

Soal Melkias, Budi mengaku tak pernah menerima surat pernyataan yang dibuatnya.

“Begitupun soal Melkias. Banyak bukti-bukti yang saya pegang. Yang saya tekankan itu adalah hak saya dan bukan haknya Melkias,”tutur Lurah.

Agaknya kasus ini masih akan panjang dan bisa saja akhirnya berujung ke pangadilan. (Jem)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *