Malabot Tumbe Antara Budaya dan Pelestarian
BANGGAI LAUT – Setiap akhir tahun tepatnya antara tanggal 3 dan 4 Desember warga Banggai Laut merayakan ritual adat Malabot Tumbe.
Secara harfiah, Malabot berarti menyongsong suatu hantaran, sedangkan Tumbe bisa berarti sebagai yang pertama atau sesuatu yang pertama kalinya.
Adapun istilah Malabot Tumbe adalah ritual menjemput hantaran telur pertama Maleo pada setiap musim bertelurnya yang dibawa oleh perutusan masyarakat adat Batui.
Batui, sebuah Kecamatan dalam wilayah kabupaten Banggai memang menjadi ekosistem utama habitat burung tersebut.
Diketahui, masa bertelur Burung ini hanya sekali dalam setahun.
Baca juga : Pimpin Nasdem Balut, Tanggung-Jawab Sofyan Makin Besar
Dari segi kuantitas, persembahan telur selama ini cukup bervariasi. Pada masa-masa sebelumnya hantaran bisa mencapai duaratus hingga tigaratusan butir.
Namun sejak beberapa tahun terakhir, jumlah itu makin berkurang bahkan tahun 2022 kemarin, jumlahnya tak lebih dari seratus butir.
Beberapa sumber menyebutkan, populasi burung Maleo dari tahun ke tahun makin menyusut.
Hal itu karena kawasan habitat alaminya yang mulai terganggu seiring aktifitas perambahan hutan dan pembukaan lahan Sawit juga industri.
Baca juga : Rapat “Malabot Tumbe” Ricuh
Banyak kalangan menilai, pemerintah daerah maupun lembaga-lembaga swasta terkait agaknya tidak punya konsep terintegrasi dalam hal penangkaran dan usaha pengembang-biakkannya.
Panca Amara Peduli
Adalah PT. Panca Amara Utama (PT. PAU), sebuah perusahaan pertambangan yang telah beroperasi belasan tahun di kawasan Batui yang menyadari kondisi ini bahkan sudah mengambil peran.
Mereka telah memulai penangkaran sejak tahun 2016 dan berjalan cukup baik.
Meski begitu, nampaknya pihak PT PAU merasa ada yang kurang dalam proses itu karena selama ini penangkaran baru sebatas inisiatif perusahaan tanpa melalui permusyawaratan bersama dengan pemangku adat terutama para ahli waris pemegang tradisi yang ada di pusat keraton Banggai.
Karenanya, pada Selasa (6/11), PT. PAU mengutus salah seorang karyawannya di bidang Community Relations bernama Rahmad Afandi.
“Kedatangan saya mewakili PT.PAU sebagai bagian dari kepedulian kami terhadap entitas kearifan lokal yang ada. Tentang upaya pelestarian burung Maleo, selama ini perusahaan sudah buat penangkaran secara bertahap,” kata dia memulai pembicaraan, saat berkunjung ke istana Keraton.
Penting untuk anda : Gempuran Israel Atas Gaza Makin Brutal
Fandy, demikian biasanya lelaki itu disapa menjelaskan, kedatangannya ke Banggai sebagai perwakilan perusahaan dalam rangka membangun kesepahaman dengan Pemda serta pemangku adat setempat.
PT. PAU berharap memiliki semacam legitimasi secara adat untuk menyisihkan sebagian telur Maleo sebelum penghantaran ke Banggai. Artinya ada sebagian telur yang masih tersimpan guna kepentingan konservasi.
“Kesepahaman ini yang hendak kami bangun. Jika dari pihak keraton setuju maka akan saya sampaikan ke perusahaan, tinggal menunggu persetujuan pak Bupati untuk pelaksanaannya,” imbuh Fandi.
Ia juga menerangkan bahwa PT. PAU melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), mengemban misi pelestarian lingkungan dan suaka margasatwa Maleo sebagai burung endemik Sulawesi Tengah.
Sejauh ini, PT.PAU sudah melepasliarkan sebanyak 325 ekor burung Maleo melalui tiga kandang penangkaran.
Mereka punya kandang anakan (pembesaran), kandang dewasa (menunggu fase pelepasan) dan kandang indukan. Sedangkan untuk pengeraman, Rumah Konservasi PT.PAU juga menyiapkan mesin tetas.
“Konservasinya sudah berjalan sejak 2016,” terangnya.
Kunjungannya kali ini baru sebatas menggali informasi, Fandi yang datang bersama lurah Dodung, Fadly Lapene berharap niat baik perusahaannya mendapat persetujuan sesuai alur semestinya sehingga ritual budaya tetap jalan dan pelestarian juga berjalan. (Sbt)